Oleh: Hendar Riyadi
MADRASAGDIGITAL.CO – Salah satu tema yang selalu menarik untuk diperbincangkan sepanjang masa adalah tentang Tuhan. Terlebih dalam situasi-situasi yang dialami dan terjadi diluar nalar manusia. Pandemi coronavirus 2019 atau covid-19 sekaramg ini, juga menarik banyak ilmuwan dan sudah pasti kaum agamawan untuk mebicarakan Tuhan.
Para agamawan umumnya mengecam keangkuhan manusia modern yang banyak “mendewa-dewakan ilmu pengetahukan dan teknologi”. Manusia-manusia modern seolah berkeyaninan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi dapat melahirkan kebajikan-kebajikan dan kesejahteraan bagi manusia, sekalipun tanpa keterlibatan Tuhan.
Tuhan sendiri akhirnya “disingkirkan”—istilah sekarang didisrupsi—dari kehidupan. Nah, datangnya covid-19 ini menyadarkan kembali manusia akan keangkuhannya itu. Bahwa dengan virus yang berukuran kecil saja, hampir seluruh aktivitas kehidupan berhenti. Bandara berhenti. Pusat-pusat perbelanjaan dan hiburan berhenti. Kantor-kantor berhenti. Kampus dan sekolah berhenti. Menurut kaum agamawan, itu semua mengingatkan kembali kepada manusia dan seluruh alam ini bahwa ada Tuhan yang kuasa dan maha hebat dari segalanya. Lalu, Tuhan pun diperbicangkan kembali.
Pertanyaannya adalah kenapa Tuhan itu menarik untuk diperbincangkan? Pertama-tama, secara praktis ini penting karena akan menentukan nasib manusia di masa depan. Secara keilmuan, kita memastikan bahwa manusia itu merupakan homo religious. Makhluk yang memiliki kodrat atau naluri religius. Buktinya, seperti kata karen armstrong, sejak dahulu kala manusia itu menyembah dewa-dewa. Mereka berkeyakinan bahwa dibalik alam semesta ini ada kekuatan supranatural yang mengatur dan menciptakan mereka. Kekuatan supranatural itu tidak tampak, tetapi diyakini keberadaannya.
Keyakinan itu terus berkembang, sampai akhirnya keyakinan itu terlembaga menjadi agama. Tidak diketahui secara pasti, agama apa yang pertama dianut oleh manusia. Kita hanya mengenalnya mulai dari nabi Adam as. Kalau mengikuti teori ayunan bandulnya David Hume, perkembangan agama itu berkembang secara bolak balik antara politeisme dan monoteisme. Mulai dari politeisme, lalu bergeser ke monoteisme dan kembali ke monoteisme. Begitu seterusnya.
Kita disini tidak akan banyak membicarakan tentang agama-agama primif itu. Tetapi, kita hanya ingin menyampaikan bahwa pembicaraan Tuhan dalam perspektifnya yang baru, dimulai dari nabi Ibrahim as. dengan mengenalkan agama monoteisme murni. Hanya ada satu Tuhan di alam semesta. Menariknya adalah pandangan monoteisme Ibrahim ini diperoleh melalui pencarian secara “radikal”. Al-Quran (surat al-An’am/6: 79) menggambarkan secara baik bagaimana pencarian Ibrahim untuk menemukan pandangan ketuhanannya tersebut. Sebagian sarjana menyebutnya sebagai monoteisme radikal (radical monotheism). Keimanan pada satu Tuhan berdasarkan pencarian.
Teologi
Setelah ibrahim wafat, spirit monoteisme ini terus berlanjut dan terlembagakan menjadi agama ibrahim atau millah ibrahim (Abrahamic religion). Tiga agama besar yang terus-menerus melestarikan tradisi atau millah Ibrahim ini sampai sekarang adalah Yahudi, Kristen dan Islam. Tapi, ada yang berbeda dengan cara Ibrahim dalam menemukan Tuhannya. Agama-agama yang datang kemudian (Yahudi, Kristen dan Islam) mereka merumuskan disiplin tertentu untuk memahami Tuhan. Lalu, muncullah disiplin keilmuan ketuhanan yang dikenal dengan teologi. Dalam Islam lebih dikenal dengan lmu kalam. Sekali lagi, berbeda dengan cara kerja Ibrahim dalam menemukan Tuhannya. Teologi dan ilmu kalam lebih banyak “mengutak-atik” teks agama (sabda Tuhan, al-Quran atau al-Kitab), lalu membuat penyimpulan rasional tentang Tuhan. Mereka mengklaim menemukan pengetahuan Tuhan yang benar. Misalnya, Tuhan dipahami mempunyai 20 sifat wajib; 20 sifat mustahil; dan 1 sifat mumkin Tuhan.
Namun, dalam perkembangannya, pengetahuan ketuhanan yang diklaim kebenarannya oleh teologi atau ilmu kalam ini, justru mengandung paradoks. Bagaimana mungkin teologi dapat mengetahui pengetahuan yang benar (objektif) tentang hakikat Tuhan. Sementara, Tuhan itu sendiri bukan realitas obyektif. Disisi lain, kerja teologi yang pada umumnya mendasarkan pada pendekatan rasional, dianggap tidak dapat memberikan penjelasan mengenai dimensi “batin” dari ketuhanan.
Tasawuf
Nah, kita tidak akan panjang-panjang membicarakan teologi disini. kita akan masuk pada satu kajian tentang Tuhan yang cukup penting dalam Islam, tapi banyak dipinggirkan dalam sejarah karena dianggap banyak mengandung unsur bid’ahnya, yaitu tasawuf. Sama halnya dengan teologi, tasawuf juga ingin memecahkan misteri tentang Tuhan. Bagaimana memahami Tuhan dan bagaimana mengetahui hakikat Tuhan yang terdalam. Tapi, tasawuf berbeda dengan teologi dalam mendekati Tuhan. Bila teologi mendekatinya secara rasional, maka tasawuf ingin mengetahui Tuhan melalui pendekatan kasyaf atau penyingkapan.
Seperti melanjutkan kembali tradisi pencarian Ibrahim, namun lewat pendekatan batinnya. Kalau Ibrahim tadi lebih bersifat empiris atau berdasarkan pada fakta alam dengan melihat bintang, bulan dan matahari, lalu dia menyimpulkan Tuhan yang Maha Agung. Maka, tasawuf mendasarkan pada penyingkapan-penyingkapan rahasia yang bersifat spiritual atau batiniah. Cara kerja kasyaf dalam tasawuf untuk mengetahui Tuhan ini tentu tidak akan bisa dibicarakan dalam bahasa ilmu seperti kita sekarang ini. Sebab, perolehannya bersifat hudhuri (berdasar kehadiran atau bertemu langsung dengan Tuhan). Hanya para nabi, para wali dan para sufilah yang memahaminya.
Nah, sudah titik. Ilmu kita berhenti disini. Kita tidak akan bisa mengikuti pengetahuan tentang Tuhan yang diperoleh kaum sufi lewat ilmu hudhuri–nya itu. Kalau begitu, apa manfaatnya pengetahuan tentang hakikat Tuhan itu, bila tidak bisa dipelajari atau diamalkan? Tentu, persoalan ini menjadi kesadaran para sufi sendiri yang serius. Bagaimana pengetahuan tentang hakikat Tuhan yang sangat penting karena menentukan keselamatan dan kebahagiaan manusia itu, dapat dikomunikasikan dan diajarkan secara positif kepada masyarakat kebanyakan. Ini sangat krusial, agar dapat meminimalisasi kesalahpahaman dalam pengamalannya.
Dalam kerangka inilah, tradisi sufistik memberikan pembelaran yang sederhana tentang Tuhan dan bagaimana mengetahui hakikat Tuhan itu. Para sufi memberikan rumusan yang sederhana, yaitu “siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya” (man ‘arafa nafsahu, faqad ‘arafa rabbahu). Jadi kata kunci untuk mengenal atau memahami Tuhan itu adalah dengan cara mengenal diri sendiri. ini sejalan dengan keterangan Al-Quran dalam surat Fushilat ayat 53 yang bunyinya:
سَنُرِيهِمْ آيَاتِنَا فِي الْآفَاقِ وَفِي أَنْفُسِهِمْ حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُ الْحَقُّ أَوَلَمْ يَكْفِ بِرَبِّكَ أَنَّهُ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ شَهِيدٌ
“Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) di segala wilayah bumi dan diri mereka sendiri kami, hingga jelas bagi mereka bahwa al-quran itu adalah benar. tidaklah cukup bahwa sesungguhnya tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu.
Belajar dari Al-Ghazali
Baiklah, apa yang dimaksud dengan ungkapan man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa rabbahu itu? Kita akan mencoba menjelaskannya secara ringkas. Biar agak sedikit obyektif, kita akan mengambil penjelasannya dari kalangan sufi sendiri, khususnya yang kita gunakan disini adalah penjelasan Al-Ghazali seperti dalam karyanya, kimiya al-sa’adah (kimia kebahagiaan).
Kenapa manusia? Dalam QS. Fushilat ayat 53 di atas disebutkan bukan hanya diri manusia, tapi juga alam (langit dan bumi). Pertanyaannya kenapa manusia? Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia adalah makhluk yang ajaib. Diciptakan bukan dengan main-main atau sembarangan. Memang manusia itu tidak kekal. Tapi, ia akan hidup selamanya. Jadi jangan anggap kita hidup hanya di dunia. Tapi kita akan hidup selamanya. Jasad kita memang akan lebur dalam tanah. Tapi, ruh atau jiwa manusia akan terus hidup. Bila ruh atau jiwanya bersih dan tersucikan dari sifat kebinatangan dan setan, maka dia akan bertemu dengan Tuhannya dalam kebahagiaan. Sebaliknya, bila ruh atau jiwanya itu banyak mengikuti sifat kebinatangan dan setan, maka dia akan bertemu dengan Tuhannya dengan menderita.
Oleh karena itu, bila kita menginginkan bertemu tuhan dalam kebahagiaan, maka kita perlu mengenal Tuhan dan kehendak-kehendak-Nya. Dan untuk mengenal Tuhan, kita perlu mengenal diri kita sendiri. Sebab, yang dekat dengan diri kita itu adalah kita sendiri. Karenanya, bagaimana mungkin bisa mengenal yang lainnya, kalau diri sendiri tidak dikenalinya. Mengenal diri yang dimaksudkan bukan dalam artian lahiriah atau bentuk luar seperti muka, badan, anggota tubuh dan yang lainnya. Bukan juga yang bersifat fisikal seperti kalau lapar kita makan, kalau sedih kita menangis, kalau marah kita menyerang. Itu semua tidak akan mengantarkan pada pengetahuan tentang Tuhan.
Adapun yang dimaksudkan dengan mengenal diri disini adalah “siapa diri kita ini. Dari mana kita datang. Kemana kita akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahan kita di dunia yang sementara ini? Lalu, kita harus mengetahui bahwa di dalam diri kita ini ada tiga sifat yang bersemayam, yaitu sifat hewan, setan dan sifat malaikat. Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur, dan berkelahi. Pekerjaan setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan, kekacauan, menyesatkan manusia, pandai menipu, bersikap pura-pura dan suka berdusta. Sedang sifat malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sepenuhnya bebas dari sifat hewani.
Kita harus menemukan dari ketiganya, mana yang esensial dan mana yang aksidental. Dengan menyingkap rahasia diri kita ini, maka kita akan mengenal Tuhan dan menemukan kebahagiaan yang sejati. Lalu, bagaimana cara mengenal dan memahami diri kita itu? pertama-tama, kita harus menyadari bahwa diri kita ini terdiri atas wujud lahiriah yang disebut jasad dan wujud bathiniah yang sebut hati atau jiwa (ruh).
Wujud lahiriah seperti yang kita kenal adalah wujud fisik berupa kepala, dada, perut, tangan, kaki dan yang lainnya, dengan segala sistemnya, seperti sistem pertulangan, sistem pencernaan, sistem syaraf, dll. Dengan mengenal wujud lahiriah (jasad) manusia, kita akan mengenal Tuhan sebagai penciptanya. Bagaimana penciptaan manusia itu tampak sangat menakjubkan. Perhatkan misalnya, kesesuaian antara geligi depan dan samping ketika mengunyah makanan, proporsi lidah di mulut, kelenjar air liur dan kerongkongan untuk menelan, dan berbagai organ lainnya yang begitu menakjubkan. Lihatlah pula struktur tangan dengan lima jarinya yang tak sama panjang—empat diantaranya punya tiga persendian dan jempol hanya punya dua—sehingga ia bisa dipergunakan untuk menggenggam, menjinjing, atau memukul.
Perhatikan juga telinga dan sistem pendengaran kita. Hubungan sistem syaraf kita dengan organ tubuh yang lainnya. Seluruhnya sangat menakjubkan. Tidak mungkin manusia, secerdas apa pun ia, mampu membuatnya lebih baik lagi. Jadi, dengan mengenali penciptaan dirinya, manusia akan mengetahui keberadaan Tuhan. Dengan merenungi struktur tubuhnya yang menakjubkan dia menyadari kekuasaan dan kebijaksanaan Allah. Dan dengan merenungkkan karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya, dia akan menyadari cinta Allah kepadanya. Begitulah kata Al-Ghazali, mengenal diri menjadi kunci untuk mengennal Allah.
Sedang yang dimaksud dengan hati atau jiwa (ruh) sebagai wujud batin, bukan hati dalam bentuk fisik, yaitu segumpal daging yang ada di dada sebelah kiri. Bukan itu yang dimaksud. Adapun yang dimaksud dengan hati/jiwa disini adalah hati atau jiwa yang bersifat gaib/spiritual (spiritual heart) yang menguasai dan menentukan seluruh fakultas dalam tubuh. Menurut al-ghazali, melalui hati inilah, manusia dapat mengenal Tuhan. Dengan kata lain, mengenal hati akan mengenal diri, dan mengenal diri akan mengenal Tuhan.
Bayangkan bahwa jasad (tubuh) itu sebagai sebuah kerajaan. Jiwa adalah rajanya. Indra dan fakultas lainnya sebagai bala tentaranya. Akal sebagai perdana menterinya. Syahwat sebagai pemungut pajak dan amarah diibaratkan sebagai polisi. Manusia akan menjadi baik dan bahagia bertemu Tuhannya, jika hati sebagai raja berfungsi baik dalam mengendalikan semuanya. Akalnya sebagai perdana mentri berfungsi menjadi penasehat raja (hati) yang baik. Mengisinya dengan pengetahuan yang benar. Lalu, nafsu (pemungut pajak) dan marah (polisi) juga dapat dikontrol secara baik. Begitu juga dengan indra sebagai balatentaranya berfungsi dengan baik dalam melindungi raja (hati), baik berupa masukan informasi yang benar, maupun menghadang musuh-musuhnya.
Kata Al-Ghazali, ingat bahwa syahwat sebagai pengumpul pajak cenderung ingin merampas segala hal demi kepentingan sendiri. Semmentara amarah sebagai polisi cenderung bersikap kasar dan keras. Karena itu, pemungut pajak dan polisi harus selalu ditempatkan di bawah raja. Kita harus menundukkan keduanya dan mempergunakannnya sebagai kuda tunggangan dan senjata kita. Tidak harus dibunuh atau ditindas, karena mereka punya peran tersendiri yang harus dipenuhinya. Sebaliknya, manusia akan mengalami kejatuhan dan menderita ketika bertemu dengan Tuhannya, jika syahwat dan amarah menguasai akal dan jiwanya.
Demikian, kita sedikit dapat belajar dari Al-Ghazali bagaimana mengenal Tuhan dengan mengenal diri sendiri. Simpulannya, manusia itu memiliki wujud lahiriah (jasad) dan wujud bathiniah (hati/jiwa). Melalui hati/jiwa inilah manusia akan mengenal dirinya, dan melalui mengenal dirinya, dia mengenal Tuhannya. Hati/jiwa itu ibarat raja dalam tubuh yang mengendalikan dan menentukan keseluruhan fakultas dalam tubuhnya. Jika raja (hati) berfungsi baik, maka keseluruhan tubuhnya akan menjadi baik dan berfungsi melayani rajanya.
Hal ini lantaran hati hati/jiwa memiliki jendela gaib atau batin. Jendela gaib itu akan terbuka ketika hati dapat menangkap semacam ilham kenabian. Caranya melalui pemurnian atau pensucian diri dari hasrat-hasrat badani atau sifat-sifat binatang dan setan di atas. Semakin seseorang memurnikan dirinya dari hasrat badani dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, semakin peka ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu dan dengan begitu, jendela-jendela gaib menjadi terbuka. Di saat itulah, hati manusia akan mengenal Tuhannya.
Mengikuti Kehendak dan Keridhaan-Nya
Terakhir, bila kita telah mengenal diri dan mengenal Tuhan, lalu apa selanjutnya? Tentu, yang terpenting adalah mengikuti kehendak-kehendak-Nya dan mengikuti apa yang menjadi kesukaan-Nya. Dengan mengikuti kehendak dan kesukaan-Nya itu, manusia akan hidup dalam keridhaan-Nya. Jika keridhaan Tuhan ini sudah dimiliki, maka seluruh penduduk langit dan bumi pun akan meridhainya. Kalau seluruh penduduk langit dan bumi sudah menyukai dan meridhai kita, maka pasti kita akan bahagia dan akan mendapatkan segala hal yang kita inginkan. Lebih dari itu semuanya, kita akan mendapat kenikmatan puncak di hari akhir, yakni bertemu dengan Tuhan. Wallahu a’lam.
*Rektor STAIM Bandung
Mantaaaaapp👍👍👍👍