MADRASAHDIGITAL.CO – IMM merupakan kekuatan besar dalam setiap momentum perjuangan mahasiswa Indonesia, di samping HMI, PMII, PMKRI, GMNI, KAMMI, dll. Perjalanan bangsa Indonesia yang unik menempatkan mahasiswa pada posisi istimewa sebagai pendobrak kemapanan system kekuasaan melalui berbagai fase bersejarah gerakan mahasiswa Indonesia. Mulai periode 1966, 1974, 1978, 1998 sampai dengan 2002. IMM pada periode ini pun banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa seperti: Dr. Jasman Al-Kindi, Prof. Dr. Amien Rais, Dr. Sudibyo Markus, Dr. Yahya Muhaimin, Dr. Bambang Sudibyo, Prof. Dr Dien Syamsudin, hingga tokoh-tokoh muda yang ada di parlemen, birokrasi, parpol, akademisi dan lembaga-lembaga lain.
IMM lahir bukan dengan ciri gerakan aksi seperti KAMMI atau gerakan politik seperti HMI. Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sejak kelahirannya mendeklarasikan diri sebagai gerakan intelektual sekaligus gerakan sosial politik, dengan semboyan “Anggun dalam moral Unggul dalam intelektual”. Sehingga ciri ini menempatkan IMM pada posisi yang agak jauh dari pergumulan kekuasaan ‘orde baru’ yang berakhir dengan reformasi 1998. Ketika organisasi kemahasiswaan lain sibuk dengan ‘cuci gudang’ pasca 1998, IMM masih tetap steril dari “generasi laten Orde Baru”.
Saat ini dan ke depan, keberadaan IMM akan semakin penting dan kian dihargai dalam pergumulan realitas kebangsaan, baik politik, sosial, ekonomi, budaya, maupun dalam dunia keilmuan. Terbukti bahwa IMM merupakan organisasi kemahasiswaan dengan jaringan terluas yang ada di 172 cabang di seluruh Indonesia. Secara historis posisi IMM diuntungkan dengan bersihnya IMM dari konspirasi politik Orde Baru yang penuh akan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang tealh melibatkan banyak elemen kemahasiswaan lain. Sementara IMM tetap konsisten dengan gerakan moral dan intelektual, sebuah citra dan modal yang sangat berharga bagi perjalanan IMM ke depan.
IMM sendiri memiliki identitas, yang mana sebuah identitas ini bisa membedakan IMM dengan organisasi-organisasi lain di saat organisasi-organisasi kepemudaan yang lain mulai terperosok pada jerat kekuasaan dan politik vertical, IMM tetap bersih dan selalu berusaha bersih. Ketika situasi nasional mengarah pada demokrasi terpimpin yang penuh gejolak politik di tahun 1960-an, dan perkembangan dunia kemahasiswaan yang terkotak-kotak dalam bingkai politik dengan meninggalkan arah pembinaan intelektual, beberapa tokoh angkatan muda Muhammadiyah seperti Muhammad Djasman Al-Kindi, Rosyad Soleh, Amien Rais, dan kawan-kawan mempelopori berdirinya ikatan mahasiswa muhammadiyah mempelopori berdirinya ikatan mahasiswa muhammadiyah di Yogyakarta pada tanggal 14 maret 1964. Sejak awal berdirinya, IMM sebagai ormas mahasiswa islam terlahir dari kelompok social keagamaan dengan identitas yang jelas. IMM secara terang-terangan mengusung nama muhammadiyah. Sebagai organisasi otonom Muhammadiyah sifat dan gerakan IMM sama dengan Muhammadiyah yakni sebagai gerakan dakwah islam amar ma’ruf nahi mungkar.
Ide dan gerakan IMM adalah: pertama, vision, yakni membangun tradisi intelektual dan wacana pemikiran melalui intelektual enlightenment (pencerahan intelektual) dan intelektual enrichment (pengkayaan intelektual). Strategi pendekatan yang digunakan IMM adalah memalui pemaksimalan potensi kesadaran dan penyadaran individu yang memungkinkan terciptanya komunitas ilmiah. Kedua, value, adalah usaha untuk mempertajam hati nurani melalui penanaman nilai-nilai moral agama sehingga terbangun pemikiran dan konseptual yang mendapatkan pembenaran dari Al-Qur’an. Ketiga, courage atau keberanian dalam melakukan aktualisasi program, misalnya dalam melakukan advokasi terhadap permasalahan masyarakat dan keberpihakan ikatan dalam pemberdayaan umat.
Upaya memahami ideologi gerakan IMM merupakan hal yang sangat penting. Apabila diselisik, persoalan ideologi merupakan pusat kajian ilmu sosial. Namun hingga kini, kajian tentang ideologi khususnya dalam gerakan mahasiswa sangat minim. Maka, identitas ideologi IMM perlu dikaji. Dalam tataran konseptual, sebenarnya IMM memiliki sebuah konsep yang komprehensif. Trilogi Iman-Ilmu-Amal yang kemudian juga berkaitan dengan Trilogi lahan garapan keagamaan-kemasyarakatan-kemahasiswaan dan juga trikompetensi kader spiritualitas-intelektualitas-humanitas memiliki konsep yang khas dibanding pola gerakan lain.
Hal ini bisa dilihat dalam struktur organisasi IMM yang ingin mengakomodasi semua realitas mahasiswa: bagian IPTEK yang berorientasi pada profesionalisme, bidang hikmah yang berorientasi pada peran IMM sebagai organ intelektual kritis-etis-politis. Dari asal kata intelek berasal dari kosa kata latin: intellectus yang berarti pemahaman, pengertian, kecerdasan. Sedangkan kata intelektual berarti suatu sifat cerdas, berakal, dan berpikir jernih berdasarkan ilmu pengetahuan. Kata intelektual juga berkonotasi sebagai kaum yang memiliki kecerdasan tinggi atau juga disebut kaum cendekiawan. Bila didasarkan pada pengertian harfiah tentang intelek atau intelektual yang berkaitan tentang akal pikiran atau mentalitas berdasarkan kemauan berpikir Al-Qur’an banyak membahas. Sebagai contoh tentang akibat orang-orang bodoh.
Pada surah Al-An’aam ayat 119 dijelaskan tentang orang-orang yang melampaui batas karena tidak berpengetahuan. Atau surat Al-An’aam ayat 144 tentang relasi ketiadaan pengetahuan dan kezaliman. Hal ini sejalan dengan pengakuan keberadaan akal seperti pada Az-Zumar ayat 91, dan kedudukan bagi orang yang berilmu seperti pada surat Al-Mujadalah ayat 11. Dari istilah intelektual Muslim Dawam Raharjo mengartikan bahwa keintektualan adalah ekspresi dari keislaman. Atau yang lebih jelas lagi, keintelektualan adalah konsekuensi dari keislaman.
Artinya, bahwa sikap, budaya, kompetensi intelektual seorang Muslim adalah ekspresi dan konsekuensi dari deklarasi keislaman Muslim tersebut. Sehingga tampak secara tegas perbedaan antara orang islam yang intelektual dan non-islam yang intelektual. Keintelektualan seorang Muslim adalah dikarenakan keislamannya, sedangkan keintelektualan seorang non-islam tidak berdasarkan keislaman. Pengertian diatas hanya berdasarkan sebab terjadinya suatu keintelektualan, sedangkan hasil konket (materiil) dari suatu ke-intelektualan non-Islam bisa saja lebih canggih atau lebih primitif.