MADRASAHDIGITAL.CO, Dalam politik elektoral di Indonesia, psikopolitis “orang terzolimi” masih sangat ampuh digunakan sebagai cara meningkatkan elektabilitas dan popularitas.
Seperti dalam drama teater, banyak raja digambarkan bengis dan menzolimi seorang pemuda dusun, yang pada akhirnya pemuda itu berhasil mendapat simpati, lalu berhasil mengalahkan si raja, lalu menjadi raja. Drama semacam ini masih hidup di hati masyarakat Indonesia, dan kini hidup dalam dunia politik modern.
Kosa kata terzolimi atau terzalimi, atau bisa dipadankan dengan “teraniaya” disadari atau tidak memang sudah masuk dan menguasai wacana-wacana politik dalam setiap Pilkada. Sejumlah calon kepala daerah, secara langsung maupun lewat tim suksesnya, mengadopsi kata terzolimi untuk disandangkan pada dirinya demi menarik simpati pemilih.
Dengan demikin, seakan-akan ada anggapan jika Anda mau terpilih jadi walikota, gubernur atau presiden, maka Anda harus “dizolimi” dulu. Atau jika tak ada yang “menzolimi” maka sebaiknya buatlah cerita sedih yang mengharu biru, lalu curhat ke sana-sini, seolah-olah Anda sedang “dizolimi”.
Kata terzolimi kini masuk dengan tenar dalam ranah politik dan sepertinya sudah menjadi semacam teori strategi dalam setiap hajatan pilkada di Indonesia
isu yg “sengaja” dibangun agar terkesan salah satu atau kedua paslon terkesan sebagai orang yang sedang dizolimi nyatanya sering berhasil menarik lebih banyak simpati masyarakat pemilih.
Kekuatan sebuah framing dari isu yang dihembuskan amatlah dahsyat, karena dari sebuah isu akan muncul 2 (dua) sudut pandang yang sengaja dibuat bertentangan agar dianut dan dibenturkan.
Pandangan yang pertama ialah “oh ternyata”. Kaum oh ternyata lazim muncul dari pihak oposan atau lawan dari Paslon atau sosok tersebut. Dengan isu yang beredar ia dan mereka semakin menghembuskan nada-nada sinis, sarkas, bahkan buas untuk mematikan karakter lawan politiknya. Hal ini bisa berhasil menekan elektabilitas paslon tersebut jika masyarakat mengamininya.
Namun ada pula pandangan yang kedua, yaitu “ah masa”. Kaum ah masa ialah mereka yang merupakan loyalis atau minimal orang-orang yang telah memiliki simpati pada sosok atau paslon tertentu. Kalimat ah masa lazim diucapkan sebagai respon pertahanan yang muncul secara otomatis (auto defence system) ketika hal yang diyakininya coba digoyahkan dengan hembusan isu. Dengan kalimat yang sama mereka juga akan membangun kekuatan dan berupaya membalikkan isu agar elektabilitas paslon idolanya tetap terjaga.
Maka dari itu Fajri Syahiddinillah Koordinator Democracy And Elektoral Empowerment Partnership DEEP kota Depok mendorong
1. Sebagaimana kita tahu indeks kerawanan pemilu kota Depok 62,71% kerawanan dalam konteks kontestasi politik di Kota Depok maka pertama Para kontestan harus menyuguhkan kontestasi yg dewasa dan mengedepankan kesantunan.
2. Masyarakat harus mulai beranjak dari dialektika kezoliman, berganti menjadi dialektika keyakinan pilihan atas dasar nalar sehat dan analisis rekam jejak paslon
3. Penyelenggara pemilihan harus senantiasa clean and clear dalam mengurusi setiap tahapan, terutama tahapan krusial seperti pencalonan yg selama ini dalam sejarah pilkada kota Depok selalu saja bertabur isu tidak sedap.
(Fajri Syahiddinillah, Koordinator Democracy And Elektoral Empowerment Partnership DEEP kota Depok).
Editor: Agnes Arnez