MADRASAHDIGITAL.CO.,JAKARTA — Kehidupan rumah tangga merupakan kehidupan yang menyatukan dua manusia dalam sebuah perjanjian. Namun, menciptakan keharmonisan dan kedamian dalam rumah tangga bukanlah suatu hal yang mudah, tetapi memerlukan suatu usaha yang berat.
Berbicara mengenai perkawinan, adakalanya tidak selalu berjalan mulus. Itu berarti hal yang normal, karena setiap rumah tangga pasti mengalami konflik. Namun, bagaimana bila konflik tersebut menimbulkan kekerasan bagi perempuan dan anak?
Pada dasarnya, manusia memiliki kesamaan hak dalam segala bidang baik laki-laki maupun perempuan. Sehingga apabila terjadi diskriminasi terhadap perempuan, hal itu merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak asasi perempuan, begitu pula sebaliknya.
Kekerasan terhadap perempuan, biasanya didominasi dari kekerasan yang sering dilakukan oleh orang yang memiliki kekuasaan lebih tinggi kepada korban yang lemah. Bisa saja kekerasan tersebut berujung kepada anaknya.
Dalam rangka memahami situasi perkawinan dan konflik perkawinan yang berdampak pada tidak terpenuhinya hak perempuan dan anak, Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah menyelenggarakan diskusi “Hak Perempuan dan Anak dalam Perkawinan” yang bekerja sama dengan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) UHAMKA. Seminar ini diselenggarakan pada hari Senin, 24 Agustus 2020 melalui kanal Zoom Meeting. Acara dibuka oleh ibu Prof. Dr. Hj. Masyitoh Chusnan, M.Ag selaku ketua Pimpinan Pusat ‘Aisyiyah. Beliau menyampaikan bahwa Pos Bantuan Hukum (Posbakum) ‘Aisyiyah memiliki tugas untuk mensosialisasikan peraturan perundangan terkait perkawinan agar perempuan dan anak terlindungi hak-haknya.
Pembicara pertama Dr. Fal. Arovah Windiani, SH, MH, Dosen Fakultas Hukum UMJ menyatakan bahwa perkawinan itu saling meminta, seharusnya perkawinan adalah sah sesuai agamanya dan resmi dicatatkan kepada negara sesuai agamanya. Perkawinan yang sah bermakna melindungi hak perempuan dan anak. Cerai gugat berdampak pada hak nafkah yaitu nafkah muth’ah, nafkah iddah, dan hadhonah.
Hal ini seringkali membuat laki-laki menggantungkan perkawinan terhadap perempuan. Laki-laki menunggu istri yang mengajukan agar bebas dari hak nafkah nuth’ah, nafkah, iddah, dan hadhonah. Situasi tersebut banyak dialami perempuan, padahal seharusnya laki-laki menyadari hak-hak perempuan yang harus dipenuhi ketika mereka memutuskan untuk mengakhiri relasinya sebagai tanggung jawab.
Di lain sisi, data BAPPENAS menunjukkan bahwa perceraian meningkat 3% setiap tahun. Peningkatan tersebut bermakna bahwa kesadaran hukum perempuan meningkat untuk memastikan hak-haknya dalam perkawinan. Pada sisi yang lain, adanya kebutuhan bimbingan perkawinan bagi pasangan muda agar menjadi bekal menjalani kehidupan keluarga. Dengan bekal tersebut, diharapkan perceraian dapat diminimalisir.
Sementara Khusniyati Masykuroh, M.Pd, dosen program studi PAUD UHAMKA menyebutkan bahwa banyak sekali dampak perceraian pada kondisi anak. Mulai dari tumbuh kembang anak yang terhambat, ekspresi remaja yang agresif, hingga sulit beradaptasi diri. Seharusnya orang tua memikirkan bagaimana nasib anak dalam relasi perkawinan, karena anak adalah investasi akhirat orang tua.
Wakil Ketuan KPAI Rita Pranawati juga menyampaikan perlindungan anak seharusnya tidak terpengaruh dengan situasi perkawinan orang tuanya. Anak sampai kapanpun memiliki ikatan dengan orang tuanya walaupun perkawinan orang tuanya berakhir. Mantan suami atau istri memang ada, tetapi mantan anak dan orang tua tidak ada. Semua orang tua bertanggung jawab untuk memenuhi hak akses, hak pengasuhan, sekaligus hak nafkah kepada anak walaupun ikatan perkawinan dengan pasangan telah berakhir.
Rita menegaskan bahwa jika orang rebutan hak asuh, sesungguhnya semua pihak memiliki kewajiban asuh. Kedua orang tua harus sama-sama bekerja sama dalam mengasuh dan mendidik anak walaupun mereka sudah mengakhir hubungan.
Selanjutnya, Dekan FKIP UHAMKA, Dr. Desvian Bandarsyah, M.Pd menyampaikan pidato kuncinya bahwa keluarga merupakan pilar pembangunan bangsa. Harapan besar kepada keluarga agar menjadi penopang kehidupan bangsa. Hal itu mendasari bahwa keluarga merupakan situasi di mana individu ada dan mengada. Seringkali keluarga lebih dilihat sebagai sebuah target grup dalam kebijakan negara. Seharusnya, pendekatan pembangunan keluarga harus melihat perkembangan keluarga.
Seminar yang hadir dari Majelis Hukum dan HAM seluruh Indonesia maupun masyarakat umum mendapatkan perhatian yang cukup baik. Banyak peserta menanyakan berbagai persoalan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Beberapa pertanyaan yang menguat diantaranya adalah bagaimana nasib anak bila orang tuanya tidak menikah sah, hak ayah yang tidak ada perkawinan, soal pengangkatan anak dan nasabnya, serta bagaimana pemenuhan hak nafkah anak jika terjadi perceraian, serta hak perempuan dalam perceraian.
Persoalan hukum dasar ini harus terus disosialisasikan agar perempuan khususnya pada umumnya memahami hukum dan melakukan perlindungan perempuan dan anak. Namun, cara pandang masyarakat terhadap kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak masih dianggap remeh. Pasalnya, masyarakat berpikir kepentingan korban kekerasan perempuan dan anak akan mencemarkan nama baik keluarga dan lingkungan masyarakat. Selain itu, dalam kekerasan rumah tangga kerap kali dianggap sebagai masalah pribadi yang tidak dapat dicampuri orang lain. Hal tersebut membuat banyak pihak miris.
Dengan diadakan seminar ini, diharap masyarakat memiliki pemikiran terbuka lagi mengenai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Hal itu disebabkan perkembangan psikis bagi perempuan dan anak tergantung dari kondisi bagaimana lingkungan ia tinggal.