Penentuan nomor urut paslon presiden dan wakil presiden sudah ditentukan serta diumumkan pada era politik ini. Anis – Muhaimin (Amin) mendapatkan nomor urut 01, Prabowo – Gibran mendapatkan nomor urut 02, serta Ganjar – Mahfud mendapatkan nomor urut 03. Di tengah konstelasi dan kontestasi yang kian memanas ini seolah kita lupa tentang peran-peran wanita Islam/muslimah dalam dunia perpolitikan.
Pertama-tama kita definisikan dulu apa itu politik. Politik itu sendiri dapat didefinisikan sebagai segala urusan dan tindakan yang berhubungan dengan pemerintahan atau kekuasaan. Bicara politik di tengah manusia yang menganut paham demokrasi tentu akan melibatkan berbagai macam golongan termasuk wanita. Jikalau kita telaah sejarah tentu kita akan menemukan sosok-sosok wanita yang amat berpengaruh dalam perpolitikan dan ini terekam jelas pada ayat-ayat Quran.
Sosok wanita yang menjadi pemimpin pada kerajaan Saba yang kebanyakan interpreter Quran memanggilnya dengan nama ‘Balqis’. Kisah ini tertulis jelas dalam surat An-Naml [27] ayat 22-44. Dalam ayat-ayat tersebut Allah subhanahu wa ta’ala sama sekali tidak mengkritik Ratu Balqis yang notabenenya adalah perempuan yang menjadi pemimpin, akan tetapi yang dikritik Allah adalah perihal dimana Ratu Balqis beserta rakyatnya yang menyembah kepada selain Allah. Dan juga pada surat An-Naml [27] ayat 32-44 Allah subhanahu wa ta’ala memuji Ratu Saba (Balqis) secara tidak langsung yang dimana Ratu Balqis digambarkan sebagai ratu yang demokratis dan mau menerima kebenaran tauhid yang disampaikan Nabi Sulaiman alaihissalam. Ratu Saba digambarkan sebagai ratu yang selalu mengadakan musyawarah dengan para ahlinya sebelum mengambil tindakan berani.
Pada surat At-Taubah [9] ayat 41 diperintahkan untuk setiap orang-orang beriman baik pria maupun wanita untuk berjihad membela iman dan tanah airnya. Konteks ayat ini diturunkan adalah pada waktu itu muncul kabar bahwa Kekaisaran Romawi Timur atau Bizantium yang dipimpin oleh Heraklius akan melakukan ekspansi besar-besaran terhadap wilayah-wilayah muslim yang waktu itu pusat pemerintahannya adalah Madinah dan kepala negaranya adalah seorang Rasulullah shalallahu alaihi wasallam. Dikisahkan pula bahwa pada saat peperangan itu para muslimah sangat berperan dalam membantu persiapan Perang Tabuk ini (1). Lalu juga apabila menelaah surat At-Taubah ayat 71 dimana antara pria dan wanita adalah mitra dalam mengerjakan segala kebaikan dan mencegah segala keburukan termasuk urusan-urusan politik (2).
Mari kita beralih kepada Sirah Nabawiyah dan Sahabah. Kita akan menemukan tokoh-tokoh muslimah yang secara politis sangat berpengaruh dalam dakwah Islam ini. Yang pertama adalah Sayyidatuna Khadijah alaihissalam yang statusnya sebagai saudagar kaya lagi di percaya oleh orang-orang Arab. Pada masa awal dakwah Nabi Muhammad shalallahu alaihi wasallam, risalah kenabian beliau diterima oleh orang-orang karena beberapa sebab. Yang pertama adalah karena pribadi beliau yang jujur dan dapat dipercaya (Al-Amin). Lalu yang kedua adalah karena dakwah beliau didukung secara emosional, fisikal, dan material oleh istrinya Sayyidatuna Khadijah alaihissalam. Orang-orang Arab jahiliah waktu itu tau betul bahwa Sayyidatuna Khadijah alaihissalam adalah wanita yang kaya raya dan sangat cerdas dan tak mungkin mendukung pembohong. Selain Abu Bakar, Sayyidatuna Khadijah alaihissalam pun juga dalam hal ini berperan sebagai pembenar atau pengokoh bahwa Muhammad adalah benar-benar Sang Nabi yang dijanjikan (3).
Lalu pada saat peristiwa hijrah Rasulullah shalallahu alaihi wasallam yang ditemani oleh Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallahuanhu, maka kita akan menemukan Asma binti Abu bakar radiyallahuanha selaku penyuplai segala kebutuhan ketika Rasulullah shalallahu alaihi wasallam serta Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallahuanhu berada di dalam Goa Tsur saat sedang berhijrah dari Mekkah ke Madinah. Asma binti Abu Bakar diberi julukan Dzat an-Nithaqayn yang bermakna pemilik 2 ikat pinggang yang dimana melalui 2 ikat pinggang itu Asma membawakan segala kebutuhan bagi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallahuanhu (4). Lalu kita juga bisa mengambil pelajaran dari sahabat Rasulullah yaitu Nusaibah binti Ka’b yang dikenal dengan julukan Ummu Umarah. Beliau adalah muslimah yang melindungi Rasulullah shalallahu alaihi wasallam dari kafir Quraisy ketika perang Uhud terjadi (5). Pada masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq radiyallahuanhu, Ummu Umarah juga turut aktif dalam memberantas nabi palsu Musailamah Al-Kadzab beserta pasukannya (6).
Lalu kita beralih pada perbandingan jumlah keterwakilan laki-laki dan wanita pada parlemen yang berada di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) mengabarkan bahwa persentase keterwakilan wanita pada lembaga legislatif nasional (DPR RI) di tahun pemilu 2019 hanyalah sebesar 20,8% (7) dan sisanya adalah pria. Tentu hal ini sangat memperihatinkan. Dan jikalau kita melihat lembaga tinggi negara yang lain yaitu Mahkamah Konstitusi, maka kita akan menemukan bahwa Indonesia baru memiliki 2 hakim wanita yaitu Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H., M.H. sekaligus hakim konstitusi wanita pertama di Indonesia (2008-2018) lalu digantikan oleh Prof. Dr. Enny Nurbaningsih, S.H., M.Hum. Lalu juga untuk presiden wanita, Indonesia baru memiliki Ibu Prof. Dr. (H.C.) Hj. Diah Permata Megawati Setiawati Soekarnoputri. Berdasarkan data-data ini kita dapat menyimpulkan bahwa wanita-wanita Islam atau muslimah di Indonesia belum sepenuhnya memaksimalkan potensi selaku Khalifatul fil Ardhi (Pemimpin di muka bumi) dalam konteks perpolitikan.
Dari beberapa uraian di atas bahwa peran penting wanita Islam / muslimah dalam hal politik adalah suatu hal yang diakui keabsahannya. Dan juga bahwa keniscayaan muslimah untuk berpolitik dalam rangka menjalankan amar makruf nahi munkar adalah suatu hal yang sudah Allah gariskan dan wajibkan. Jadi sangatlah jelas keikutsertaan wanita dalam perpolitikan adalah suatu hal yang sangat urgen.
Referensi
- Waqidi, Maghazi, jld. 3, hal. 991-992.
- Majlis Tarjih Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 1982, Adabul Marah fil Islam, hal. 49.
- Ibnu Khaldun, Tārikh Ibnu Khaldun, jld. 2, hlm. 41; Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 3, hlm. 23; Ibnu Abdul Bar, Al-Isti’āb, jld. 4, hlm. 1817
- Muhammad ibn Sa’ad ibn Mani’ al-Zuhri, Kitab Thabaqat al-Kabir, hal. 240
- Faqihuddin Abdul Kodir, 2019, Qira’ah Mubadalah. Cet. I
- Ziyadah, Asma’ Muhammad Ahmad. 2001. Daur al-Mar’ah al-Siyasiy fi ‘ahd al-Nabiy wa al-Khulafa’ al-Rasyidin, Alih bahasa oleh Kathur Suhardi dengan judul “Peran Politik Wanita dalam Sejarah Islam”, hal. 199
- https://www.mpr.go.id/berita/Peningkatan-Partisipasi-Perempuan-dalam-Politik-Butuh-Dukungan-semua-Pihak