MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Ahmad Baiduri
Melihat lanskap perpolitikan Indonesia, tentu isu politik identitas masih menjadi penyakit akut politik di Indonesia yang hingga kini setia menghias etalase media massa publik. Negeri yang dianugerahkan oleh Tuhan beribu pulau, suku, bahasa, dan ragam adat, budaya, serta agama, hingga kini seolah masih mencari denyut keharmonisan di negeri yang kaya akan keberagaman. Tentu hal tersebut disebabkan karena maraknya perpecahan antarkelompok yang senantiasa terjadi di tengah masyarakat yang majemuk, sehingga keharmonisan cenderung bersifat temporer. Dalam konflik horizontal tersebut, tentu tidak jarang politik identitas menjadi sumber dari segala kisruh konflik sosial di Indonesia yang memecah belah bangsa.
Percaturan politik nasional yang dalam manuvernya masih menyimpan sentimental antar suku, agama, maupun golongan, menjadi konflik yang silih berganti dipertontonkan oleh publik. Jika meninjau perpolitikan di Indonesia dalam kacamata sosiologi, seolah politik hanya membangun sekat antar kelompok dan polarisasi dalam ruang sosial yang hampir tidak pernah absen menghias panggung politik nasional hanya untuk memuaskan syahwat politik semata, terlebih menjelang Pemilu. Melihat gejala politik identitas yang merusak keutuhan berbangsa dan bernegara, seolah melihat semboyan “Bhineka Tunggal Ika” telah kehilangan rohnya akibat persaingan politik yang menggunakan identitas sebagai atribut politik. Jika melihat kasus fenomena tersebut di Indonesia, tentu ‘agamalah’ yang sering dijadikan sebagai jubah oleh segelintir kelompok untuk menutupi kepentingan politiknya.
Akar Penyebab Politik Identitas
Dalam banyak kajian sosial-politik di Indonesia, identitas sosial menjadi suatu permasalahan yang tidak pernah reda dalam menghujani republik ini. Identitas sosial yang semestinya menjadi entitas yang menyatukan antar individu maupun kelompok, justru menjadi tembok yang membatasi interaksi antar kelompok. Gap tersebutlah yang dalam paradigma penelitian harus dibedah secara metodologis agar seharusnya (das sollen) identitas sosial menjadi entitas yang mendukung adanya integrasi sosial secara majemuk, namun nyatanya (das sein) identitas sosial justru menjadi disintegrasi sosial atas klaim pengakuan kelompok. Tentu gejala tersebut harus dideteksi agar paradoks identitas tersebut tidak senantiasa berlanjut.
Dalam mengamati konflik identitas, Amartya Sen (Sen, 2016) menegaskan bahwa identitas akan menjelma menjadi kekerasan ketika adanya ‘pemutlakan identitas’ atau ‘identitas tunggal’, karena pada pemutlakan identitas akan terjadi suatu persaingan antar kelompok sehingga mengeliminasi kelompok lain dan mengundang konfrontasi atau kekerasan atas ilusi dari konsepsi identitas yang mempengaruhi pikiran maupun tindakan. Ikhwal reduksionis tersebutlah bagi Sen yang membuat manusia sebagai makhluk multidimensi menjadi makhluk satu dimensi sehingga Sen menyebutnya sebagai manipulasi identitas. Bila menyimak uraian Sen mengenai ilusi identitas, maka politik identitas hadir dengan memanfaatkan logika mayoritas yang melakukan pemutlakan identitas pada masyarakat sehingga melahirkan spektrum politik yang mengatasnamakan kepentingan mayoritas melalui pendekatan identitas.
Dalam tinjauan berbeda, Francis Fukuyama melihat akar politik identitas secara filosofis. Menurutnya, manusia memiliki tiga hal dalam jiwanya. Pertama thymos, yaitu bagian jiwa yang sangat membutuhkan suatu pengakuan, kedua isothymia yaitu tuntutan untuk dihormati atas dasar kesetaraan dengan orang lain, ketiga megalothymia yaitu keinginan untuk diakui sebagai yang lebih unggul (Fukuyama, 2020). ketiga hal tersebutlah yang melahirkan martabat dan hasrat. Dimana ketika martabat suatu golongan dicederai dan hasrat suatu golongan yang tinggi atas keinginannya untuk diakui sebagai yang lebih unggul, maka dengan demikian lahirlah politik identitas. Uraian Fukuyama mengenai akar politik identitas, tentu menjadikan martabat dan hasrat sebagai unsur penting pada identitas sosial.
Pertarungan Ideologi Dalam Arena Politik
‘Arena politik’ merujuk pada konotasi ruang persaingan di dunia politik. Pierre Bourdieu mengistilahkan ruang sosial dengan sebutan ‘arena’. Arena bagi Bourdieu merupakan ruang persaingan, pertempuran, atau perjuangan individu maupun kelompok untuk menopang dan mengarahkan strategi yang digunakan untuk menduduki atau mengamankan posisi dalam struktur sosial. (Krisdianto, 2014). Berdasarkan istilah tersebut, Bourdieu tentu menjadikan ruang sosial sebagai ruang yang tidak netral dan dipenuhi persaingan. Bila diseret dalam konteks politik, maka aktor politik menjadikan arena sebagai medan gerilyanya untuk melakukan manuver politik. Dengan demikian, identitas dalam arena politik dapat dijadikan sebagai alat persaingan untuk melancarkan kepentingan politik dengan menghadirkan ilusi atas identitas sebagaimana uraian dari Amartya Sen.
Panorama politik di Indonesia tidak jarang menghidangkan beragam persoalan kepentingan yang di latar belakangi oleh kepentingan identitas. Dalam masyarakat demokratis, tentu sah jika masyarakat dengan latar belakang identitas yang berbeda mengartikulasikan suaranya di ruang publik. Dengan potret masyarakat yang demokratis, maka Francis Fukuyama melihat jika persoalan politik identitas lahir melalui masyarakat demokratis dan liberal sebagai konsekuensi atas ekspresi perbedaan kepentingan pada lintas kelompok (Fukuyama, 2020). Dalam masyarakat demokratis yang plural, tentu persoalan Politik Identitas di Indonesia tidak jarang bersinggungan dengan persoalan ideologis.
Arena Politik di Indonesia
Ahmad Syafi’i Ma’arif mengungkapkan jika permasalahan politik Identitas di Indonesia berkaitan dengan masalah entitas, agama, ideologi, dan kepentingan-kepentingan lokal (Fauzi & Panggabean, 2010). Buya Syafi’i memberikan contoh persoalan ideologi dalam bingkai politik identitas, seperti Gerakan DI (Darul Islam) yang menggunakan agama Islam sebagai payung ideologi politik identitas untuk mencari atensi suara umat muslim dan PKI (Partai Komunis Indonesia) yang menggunakan Marxisme sebagai payung ideologi dalam melakukan agenda politik Identitas pasca-proklamasi dengan mendekati kaum proletar. Dari potret tersebut, tentu terdapat nilai-nilai ideologis yang terselubung pada tiap agenda politik sehingga pertarungan ideologis menjadi pertempuran politik yang nyata dan bersifat multidimensi.
Pertarungan ideologis bersaing secara ketat salah satunya melalui arena politik. Arena politik menyediakan mimbar bagi komunikator politik untuk menyampaikan pesan politiknya yang sarat akan kepentingan ideologis. Bahkan mimbar tersebut telah terbangun dalam ruang digital sehingga memudahkan pesan politik yang dibungkus dengan narasi agama, nasionalisme, pluralisme, dan penyertaan identitas lainnya untuk bergentayangan di media sosial dan media massa. Bertebarannya pesan-pesan politik yang memuat kepentingan ideologi di ruang publik telah dirasakan oleh Jurgen Habermas sehingga diperlukannya sikap ‘kritis’ terhadap wacana yang bertebaran. Kecurigaan tersebut bukan berarti sentiment, namun merupakan sikap waspada bahwa bisa jadi dalam sebuah informasi terselubung suatu kepentingan dibaliknya. Karenanya, Habermas mengungkapkan bahwa tidak ada sesuatu yang terlepas dari kepentingan, baik dalam konteks politik, pasar, bahkan agama (Fransisco Budi Hardiman, 2004).
Mengubur Politik Identitas
Dalam mengubur fenomena politik identitas pada ranah agama, Buya Syafi’i memberikan gagasan ‘Religiusitas etik’ terhadap demokrasi plural di Indonesia. Religiusitas etik merupakan perilaku sosial yang terdiri atas nilai universal yang diperas dari kitab suci dan kemudian dikembangkan secara kontekstual dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk berpolitik (Rahayu, 2022). Upaya mengambil nilai-nilai universal agama tentunya dapat menyumbat perselisihan lintas agama yang berpotensi dipolitisir secara sistematis oleh aktor politik. Dengan implementasi religiusitas etik, maka mampu memberikan penyadaran kepada masyarakat atas pemutlakan identitas, karena menganggap setiap agama memiliki tujuan dan nilai kebaikan pada level sosial.
Melihat fenomena politik identitas yang menampilkan pertarungan ideologi, maka Jurgen Habermas memanfaatkan ruang publik sebagai media penyatuan. Habermas menyatakan bahwa ruang publik sebagai arena argumentasi dari berbagai perbedaan tradisi (identitas) dan tidak ada klaim teritori oleh suatu tradisi apapun di dalamnya. Sebaiknya ruang publik harus bisa menjadi locus penyatuan yang dapat mendamaikan konflik-konflik, klaim yang bersaing, dan perbedaan yang tidak dapat diselesaikan (Menoh, 2013). Karenanya, Habermas dalam (F Budi Hardiman, 2020) menekankan upaya ‘tindakan komunikatif’ untuk menghasilkan integrasi sosial melalui konsensus dengan memanfaatkan ruang publik sehingga tidak ada satu identitas yang dapat mengklaim komitmen etisnya sebagai norma bagi semua pihak dalam suatu negara.
Penutup
Untuk mengatasi politik identitas tentu diperlukan upaya objektivitas dalam memandang suatu fenomena. Politik identitas lahir juga didasari atas kepercayaan individu terhadap suatu tokoh, kelompok, dan golongan yang berlandaskan kesamaan agama dan suku. Gelombang polarisasi hingga politik kebencian menjadi efek samping dari ilusi identitas tersebut. Karenanya, sikap kritis atau tabayyun harus senantiasa diupayakan dalam membaca situasi sosial dan pesan politik guna mencegah masyarakat melahap informasi mentah secara emosional. Seluruh elemen masyarakat memiliki andil dalam menciptakan ruang publik yang sehat sehingga kepentingan yang terselubung dibalik pesan politik secara bijak dapat disikapi oleh masyarakat. Untuk itu, marilah mengubur politik identitas, dan kembali mengindahkan anyaman kebhinekaan bangsa Indonesia melalui kesadaran akan identitas nasional yang mempersatukan beragam suku dan agama.
Red: Eli Kardilla