MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh : Sena Putri Safitri, Mahasiswi Magister Hukum UGM
Dari sekian banya isu praktek ketatanegaraan yang ramai dibicarakan netizen di republik ini, salah satu yang menggelitik adalah soal dikembalikannya sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Hal ini kembali membuka perdebatan panjang tentang konsep dasar negara kesatuan republik Indonesia. Riak yang besar terhadap isu ini muncul di kalangan akademisi maupun masyarakat sipil.
Tak sedikit pakar hukum Tata Negara yang berpandangan bahwa ini merupakan ciri-ciri kemunduran demokrasi. Wacana ini bermula pada saat perayaan puncak ulang tahun Partai Golkar 12 Desember 2024 di Sentul International Convention Center (SICC). Bahlil Lahadalia selaku ketua umum menyinggung soal tingginya cost pemilukada yang kemudian direspon oleh Presiden Prabowo dengan mengatakan “Sekali memilih anggota DPRD, DPRD itulah yang memilih Gubernur dan Bupati. Seperti Malaysia, Singapura dan India”
Bukan pertama kalinya Prabowo Subianto membahas terkait mahalnya anggaran dan proses pemilu yang tidak efektif serta efisien. Pasalnya, topik tersebut sudah disampaikan Prabowo dalam agenda Mandiri Investment Forum 4-8 Maret 2024. Barangkali dari setiap bertambahnya persoalan di negeri ini adalah karena kita luput dan alpa memaknai kata Republik dibelakang Indonesia.
Melacak Konsep Republik dalam Demokrasi Indonesia
Kata “republik” telah lama menjadi bagian dari identitas politik Indonesia, sebagaimana tertuang dalam konstitusi Pasal 1 ayat (1) bahwa negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik. Konsep republik dalam politik hukum Indonesia tak jarang mengalami distorsi makna baik dalam tataran gagasan maupun praktik ketatanegaraan.
Republik bukan barang pemberian (taken for granted) yang seolah-olah dapat kita terima begitu saja tanpa pertimbangan dan nalar yang jelas. Republik dianggap sebagai barang antik milik segelintir elite di masa lampau. Masalahnya, kita sebagai manusia Indonesia hari ini merasa cukup terberi dengan tidak mempertanyakan ulang apa rasionalitas dibalik kata republik itu sendiri dan apa konsekuensi warga negara dari bentuk pemerintahan berupa republik.
Menurut Hannah Arendt, republik bukan sekadar bentuk pemerintahan, melainkan ruang publik yang di dalamnya hadir kebebasan dan kesetaraan dapat diwujudkan melalui partisipasi aktif warga negara. Ketika Arendt menekankan bahwa partisipasi aktif warga negara adalah kunci untuk menjaga keberlangsungan republik dan mencegahnya dari korupsi dan otoritarianisme, justru Indonesia sedang sibuk memperkuat dominasi segelintir elite dan merenggut partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan.
Robertus Robet dalam bukunya Republikanisme, memaparkan secara mendalam bagaimana histori menemukan republikanisme di Indonesia. Penelaahan sejarah di mulai dengan sebuah diskursus mendalam dan menarik tentang para founding fathers kita mendiskusikan pertanyaan tentang apakah Indonesia Merdeka harus menjadi monarki atau republik. Diskursus tersebut dapat kita lihat dalam Bab 5 Naskah Komprehensif Buku ke 2 UUD 1945.
Pada akhirnya, pemilihan republik sebagai bentuk pemerintahan dicapai melalui voting atau suara terbanyak. Republikanisme hanya sebagai perlawanan terhadap kolonialisme di masa itu. Ia secara kasar namun tegas memberi demarkasi antara kekuasaan kolonialisme dengan aspirasi kemerdekaan. Kealpaan pemaknaan ulang tentang republikanisme menjadikan ia hidup secara unik di nusantara. Ia diterima sebagai nama dan bentuk negara belaka, meski implikasi filosofi dan dimensi etisnya tidak mencul sebagai parameter tindak tunduk politik dalam kehidupan ketatanegaraan setelahnya.
Merehabilitasi makna republik dalam konteks ke-indonesiaan bukan hanya tentang mengembalikan konsep republik sebagai res publica (urusan publik) ke esensinya dimana rakyat ditempatkan sebagai pemegang kedaulatan tertinggi tetapi juga tentang menciptakan sistem politik hukum yang benar-benar berpihak pada rakyat. Konsep res publica sendiri merujuk pada pengelolaan urusan bersama yang melibatkan partisipasi aktif seluruh warga negara, bukan hanya segelintir elit politik atau penguasa.
Diperlukan komitmen kolektif dari seluruh elemen bangsa, mulai dari pemerintah, lembaga penegak hukum, partai politik, hingga masyarakat sipil, untuk bersama-sama mewujudkan republik yang inklusif, transparan, dan berkeadilan.
Polemik usulan PILKADA Tidak Langsung
Diskursus tentang pemilihan kepala daerah tidak langsung sebetulnya pernah memanas di tahun 2014 lalu. Belakangan, masalah biaya politik yang mahal dikeluhkan para kontestan kini menjadi sorotan utama, padahal besarnya modal justru ditentukan oleh para elit. Evaluasi sistem pemilihan memang diperlukan, namun mengembalikan Pilkada ke tangan DPRD bukankah mengebiri hak rakyat untuk memilih pemimpinnya, sebagaimana adagium hukum vox populi vox dei bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan dalam berdemokrasi.
Sejarahnya, Pemilihan kepala daerah langsung di Indonesia dilaksanakan pada tahun 2005 setelah disahkannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Pilkada langsung pernah dikembalikan kepada DPRD melalui UU No. 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota dan disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Akan tetapi hal tersebut langsung mendapat penolakan besar dari publik melalui demonstrasi besar-besaran sehingga SBY menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.1 Tahun 2014 yang kemudian disahkan menjadi UU No. 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang guna mencabut UU No. 22 Tahun 2014. UU No.1 Tahun 2015 inilah yang sampai sekarang menjadi pedoman Indonesia dalam melaksanakan pemilihan kepada daerah secara langsung.
Dilansir dari Litbang (Penelitian dan Pengembangan) Komisi Pemilihan Umum, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengalokasikan anggaran hingga Rp71,3 triliun untuk Pemilu 2024. Jumlah dana ini naik 57,3 persen dibandingkan anggaran pesta demokrasi serentak 2019 lalu yang sebesar Rp45,3 triliun. Meski demikian, kajian soal wacana pilkada tidak langsung tidak hanya berfokus pada anggaran tapi juga prinsip demokrasi serta terjaminnya ruang partisipasi publik.
Adanya usulan untuk mengubah sistem pemilihan kepala daerah mencerminkan kurangnya komitmen dari para pemimpin yang terpilih secara demokratis. Alih-alih memperkuat demokrasi, usulan tersebut justru berpotensi menghambat proses-proses demokratis yang sebelumnya memungkinkan mereka untuk berkuasa. Partai politik memiliki peran kunci dalam menentukan pemimpin daerah.
Selain itu, salah satu alasan munculnya usulan untuk mengubah sistem pemilihan ini terkait dengan upaya mengurangi biaya pemilihan serta mengatasi praktik politik uang yang sering terjadi selama masa kampanye. Politisi seharusnya mampu melakukan efisiensi dalam penggunaan dana politik, contohnya dengan mengurangi biaya perjalanan dinas untuk penyelenggara acara atau rapat yang diadakan selama masa pemilihan.
Dana yang telah dihemat diharapkan bisa lebih banyak digunakan untuk pengawasan dan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah di daerah masing-masing. Alih-alih hanya mengusulkan perubahan sistem pemilihan, masalah ini dapat diselesaikan jika pemerintah mampu meningkatkan efisiensi anggaran dan menangani peredaran politik uang dengan tegas melalui lembaga-lembaga yang berwenang. Kedepan, tidak menutup kemungkinan untuk pemerintah menghilangkan suara rakyat dan konstitusi hanyalah kitab suci yang akan terus diingkari!