MADRASAHDIGITAL.CO- Oleh: Hafid Ridho
Bulan suci Ramadhan tahun ini membawa nuansa yang berbeda bagi rakyat Indonesia, khususnya umat muslim. Jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, tahun ini berita mengenai korupsi telah malang melintang dalam pemerintahan Indonesia.
Maka kemudian Puasa Ramadhan kali ini ada baiknya digunakan para penguasa untuk melakukan refleksi dan perenungan, menyangkut kondisi sosial dan politik saat ini.
Refleksi dan perenungan tersebut niscaya diperlukan agar penguasa mampu memahami, mengevaluasi, serta merespons masyarakat ditengah maraknya praktik korupsi dengan tegas dan bijaksana.
Ramadhan dan politik memiliki korelasi yang filosofis, karena sesungguhnya satu output-nya adalah untuk meningkatkan ketakwaan kepada allah. Ramadhan merupakan syahru tarbiyah diterjemahkan dengan sprit ketakwaan yang memiliki output sebagai pendidikan untuk kejujuran, ketulusan, rendah hati, dan peduli.
Pendidikan ini akhirnya melahirkan seseorang bertindak dan bertingkah lau yang santun, sebagai jalan menuntun seseorang muslim untuk meningkatkan hubungan antarmanusia dengan tuhan.
Begitu juga dengan politik, outputnya adalah untuk melahirkan keadilan dan kesejahteraan manusia. Spirit keadilan itu diartikan sebagai sikap yang jujur, amanah, toleran dan saling peduli. Sehingga menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera. Menurut Aristoteles, politik bertujuan untuk kebaikan hidup manusia. Maka bisa jadi puasa bagi penguasa adalah jalan menuju kedamaian hidup manusia.
Bila kita cermat dalam mengamati perkembangan politik nasional, kendati terjadi perkembangan demokrasi yang cukup signifikan pasca reformasi bergulir. Tidak dapat dinafikan bahwa disisi yang lain masih banyak noda-noda politik yang sepatutnya segera dibilas. Noda tersebut berkaitan dengan gurita korupsi politik yang kian hari semakin besar dan terus membesar.
Rentetan kasus korupsi tersebut seakan perlahan demi perlahan melumat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Merobek demokrasi, menyayat nilai Pancasila, dan merusak stabilitas nasional.
Menurunnya Moral Kebangsaan Para Elit Politik
Ironisnya, diakui atau tidak beberapa giat politik kebangsaan kita hari ini sudah kehilaangan jiwanya. Politik bukan lagi seni mengatur manusia dengan penuh sentuhan ketulusan. Namun berubah menjadi medan konflik yang penuh intrik. Kita sulit menemukan lagi atmosfer politik yang hangat, sarat ilmu pengetahuan.
Sebab, kini menjelma sebagai pragmatism politik yang penuh kehausan dan kerakusan.
Runtutan perilaku amoral dalam politik adalah akibat langsung dari kompetisi politik yang lebih mengedepankan taktik ketimbang nilai-nilai keadaban. Praktik politik yang melalaikan nilai-nilai pasti terhempas dalam laku yang kelewat batas. Akhirnya kebencian publik itu semakin membesar, mengerucut dan meluas.
Karena politisi dipimpin oleh mereka yang kehilangan karakter kebangsaan serta masyarakat yang disuguhkan dengan kebobrokan pemerintah dari hari ke hari.
Beberapa elite politik di negara ini memandang jabatan hanya sebatas kekuasaan , bukan alat atau medium untuk membangun peradaban. Teringat ungkapan James Clarke (1810-1888), karakteristik elite semacam ini hanya sekedar berpikir tentang kekuasaan dan tidak berfikir tentang nasib generasi masa depan.
Orientasi politik yang seperti ini akan cenderung mengabaikan moral yang sepatutnya menjadi dasar nilai yang membimbing perilaku politik.
Seperti kritik Arifin (2023) moral yang seharusnya mendasari laku lampah dalam politik, kini hanya sebatas pengetahuan (moral knowledge) yang jauh dari perilaku (action) retorika dan citra sebagai sosok yang pancasilais mudah diucapkan di depan panggung (front stage).
Sebaliknya, konspirasi serta intrik jahat dilakukan belakang panggung (back stage). Akhirnya memunculkan relasi kebangsaan yang buruk serta dipenuhi kebohongan dan kesemuan.
Ramadhan : Membangun Keadaban Politik
Puasa harus melampaui definisi fikih itu – kemampuan menahan lapar sepanjang siang. Kalau hanya itu, anak kecil bahkan tak akan mengalami kesulitan. Puasa semestinya sudah diartikan sebagai pintu masuk unntuk “mensucikan” kembali makna kekuasaan dari politik sebagai alat untuk memonopoli masyarakat.
Harus kemudian diartikan sebagai medium dalam rangka mencapai tujuan kebaikan hidup manusia.
Dalam tinjauan tasawuf, Imam al Ghazali dalam kitabnya ihya’ ulumuddin berpendapat bahwa puasa ada tiga tingkatan; Pertama shaum al umum (puasa umum), ialah menahan perut dan kemaluan dari memnuhi kebutuhan syahwat seperti menahan makan dan minum. Kedua shaum al khusus (puasa khusus) atau dalam bahasa sehari-hari kita biasa sebut puasa “kelas bisnis” yaitu menjaga lisan, mata dan pendengaran dari segala ragam kemaksiatan.
Dalam dunia politik dan untuk membentuk keadaban politik, para elite politik sudah harus faham nilai ketiga dalam tinjauan Imam al Ghazali ini yakni shaum khusus al khusus (puasa kelas orang-orang tertentu) atau puasa kelas tertinggi, artinya menahan dari keserakahan harta, kehausan jabatan dan kurangnya validasi.
Tentu ketiga tasawuf puasa yang ditinjau oleh Imam al Ghazali tersebut harus kemudian difahami dan dicermati para rezim pemerintah dan politisi yang hari ini semakin antah berantah dalam melakukan kewajiban sebagai pemerintah.
Dari tasawuf tersebut nantinya akan melahirkan “tertib politik” maupun tertib sosial. Karena rakyat yang hari ini merasakan kebijakan hanya ingin adanya keseimbangan kebijakan yang tidak sampai berdampak pada stabilisasi akar rumput.
Sehingga memiliki muara bahwa “Ramadhan : Syahru Tarbiyah bagi Penguasa” harus menjadi titik fokus pemerintah hari ini, agar Ramadhan yang penuh berkah ini tidak dilewati dengan berburuk sangka, hasud, ghibah yang kemudian perlu kita akhiri.
Mari menyambut Ramadhan hari ini dengan bersama-sama mengevaluasi segala ketimpangan yang ada sehingga nantinya Ketika keluar dari bulan Ramadhan, Indonesia menjadi negara yang “baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur”
Red: Ramadhanur